Feminisme Perjuangkan Hak dan Kesetaraan Gender, Benarkah Mengikis Budaya dan Nilai Luhur dalam Masyarakat Mandar?


Feminisme adalah sebuah gerakan yang dipelopori oleh kaum perempuan untuk memperjuangkan kesamaan derajat, serta perjuangan untuk terbebas dari penindasan dan memperoleh hak yang sama baik laki-laki maupun perempuan.


Gerakan ini muncul sebagai respon terrhadap adanya sistem patriarki dalam masyarakat yang di mana derajat kaum laki-laki dianggap berada di atas perempuan atau laki-laki dianggap lebih superior dibandingkan perempuan.


Berbicara mengenai Feminisme, paham ini belum terlalu banyak diketahui di kalangan masyarakat secara umum, khususnya di Sulawesi Barat. Sehingga, tak jarang, membahas mengenai Feminisme akan menimbulkan tanggapan yang beragam yang bahkan tanggapan negatif terhadap gerakan ini. Misalnya karena Feminisme ini dianggap misandry, menolak pernikahan, atau bahkan bertolak belakang dengan adat budaya dan nilai luhur dalam masyarakat. Namun, benarkah demikian?


Feminisme yang dianggap membenci laki-laki; padadasarnya Feminisme adalah gerakan yang memperjuangkan kesetaraan  gender, yaitu antara perempuan dan laki-laki. Yang di mana gerakan ini hanya menginginkan akan adanya posisi yang horizontal antara perempuan dan laki-laki, memperoleh hak yang sama serta dihargai sebanding. Tidak berarti bahwa setiap saat perempuan akan memimpin laki-laki dan menjadi superior dibandingkan mereka.


Orang-orang yang menganut paham Feminisme pun kadang dianggap menolak atau tidak menginginkan pernikahan. Kesalahpahaman ini mungkin bermula dari ketika banyak feminis yang menolak pernikahan dini. Kaum feminis bukan membenci ataupun menolak pernikahan secara keseluruhan. Gerakan ini mengecam pernikahan yang didasarkan atas paksaan seperti perjodohan atau pernikahan dini yang berujung menghilangkan hak dari perempuan untuk menempuh pendidikan, menjalani karir, dan hak-hak lainnya.


Khususnya di wilayah Sulawesi Barat, menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS) Sulawesi Barat angka pernikahan dini di SulBar sempat mencapai 34,2% pada tahun 2017 dan pernah menempati urutan pertama di Indonesia. Hal ini dipengaruhi oleh adanya perjodohan dan adanya mindset dalam masyarakat atau orang tua yang takut apabila anaknya terlambat menikah akan dianggap tidak laku, serta faktor kurangnya pengetahuan atau pendidikan yang kemudian tidak jarang pernikahan dini ini menyebabkan anak perempuan harus berhenti menempuh pendidikannya atau karirnya karena harus melakukan tanggung jawab dalam rumah tangga.


Di Sulawesi Barat sendiri, paham feminisme ini belum terlalu banyak diketahui di kalangan masyarakat secara umum. Kurangnya pemahaman mengenai gerakan ini menimbulkan tidak jarang kesalahpahaman, salah-satunya adalah menganggap bahwa feminisme ini bertolak belakang dengan Adat budaya dan nilai-nilai luhur dalam masyarakat.


Masyarakat Sulawesi Barat, khususnya suku Mandar menjunjung tinggi sikap  gotong-royong  dan sopan santun. Feminsme kadang kala dianggap memberikan pengaruh-pengaruh negative karena yang awalnya dalam budaya masyarakat Mandar, istri harus patuh kepada suaminya yang berperan sebagai kepala keluarga. Dengan hadirnya pengaruh feminisme, dikhawatirkan perempuan akan menjadi pembangkang, mengatur-atur suami, memposisikan diri lebih tinggi derajatnya dari pada suami dan budaya “patuh kepada suami” pun terkikis. Namun, feminism bukan hadir untuk menjadikan perempuan lebih dihormati atau berada di atas laki-laki, melainkan setara,  dipandang sama, dihargai dan memperoleh hak yang sama.


Jauh sebelum munculnya feminisme di tanah Mandar, berdasarkan perspektif kekuasaan dan kedudukan, laki-laki dan perempuan dalam budaya Mandar dianggap setara. Hal ini karena baik laki-laki maupun perempuan memiliki keterlibatan dalam lingkup keluarga maupun sosial. Salah satu contohnya adalah nilai budaya sibaliparriq (sependeritaan). Nilai ini diterapkan dalam masyarakat Mandar secara turun-temurun yang dimulai dalam lingkup keluarga. Di mana nilai budaya ini membuat kaum perempuan Mandar harus mampu mengurusi urusan rumah tangga serta mencari nafkah untuk keluarganya apabila suaminya pergi melaut. Nilai ini menempatkan kedudukan perempuan setara dengan laki-laki, dimulai dari ranah keluarga sampai ke lingkungan sosial.


Selain itu dalam ranah pemerintahan, jika melihat pada sejarah kerajaan di tanah Mandar, maka akan sangat jelas bahwa konsep kesetaraan gender yang diperjuangkan kaum feminis sejalan dengan adat dan norma dalam masyarakat Mandar. Ditandai dengan catatan sejarah kepemimpinan kerajaan Balanipa yang di mana terdapat tokoh-tokoh perempuan seperti Hj. Andi Depu (Sugiranna Andi Mania) yang memerintah sebagai raja kerajaan Balanipa ke-50 dan Puang Mondaq sebagai raja Balanipa ke-51.


Feminisme kadang menjadi perdebatan karena dianggap dapat menggeser budaya dan nilai luhur. Untuk mengetahui lebih jauh mengenai kebenaran tersebut perlu untuk memahami lebih dalam mengenai feminisme itu sendiri. Tidak jarang aturan-aturan sosial atau mindset dalam masyarakat yang turun-temurun dilakukan dan kemudian dianggap nilai, secara tidak langsung menghilangkan hak sebagian orang, misalnya perempuan. Karena itu, feminisme hadir untuk mengkonstruksi aturan-aturan atau mindset tersebut.


Feminisme adalah gerakan yang luas, sehingga tidak boleh di pandang sekilas lalu menarik sebuah kesimpulan dan menilai negatif gerakan tersebut. Feminisme ini tidak hanya memperjuangkan hak perempuan, tetapi juga laki-laki. Karena itu, paham ini tidak hanya dapat dianut oleh perempuan tetapi juga laki-laki.



Ervi Alfryanti
Mahasiswi Universitas Sulawesi Barat (Unsulbar) Majene

Berkomentarlah dengan tidak mengandung unsur SARA, menyinggung kelompok gender tertentu apalagi klub sepak bola, please jangan lakukan itu.

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan tidak mengandung unsur SARA, menyinggung kelompok gender tertentu apalagi klub sepak bola, please jangan lakukan itu.

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama