Sepenggal Cerita Tentang Stigma dan Kepulan Asap


Namaku Riss, aku seorang mahasiswi kebidanan dengan tugas-tugas menumpuk, ditambah dengan kesibukan-kesibukan di luar membuat kepalaku kian hari kian berat. Atas nama tugas-tugas dan kesibukanku maka akan kuceritakan satu peristiwa kecil yang membekas diingatanku hingga aku menemukan cara menghadapi hari-hari beratku bersama tugas-tugas asuhan kebidanan dan jadwal-jadwal kajian rutin lembagaku.


Cerah rabu sore di bulan Februari, aku pulang kuliah dengan sedikit lunglai dan kepala pening menyapa. Dinda kawanku di lembaga menelfon dan menanyai keberadaanku, ia mengajakku ke pertemuannya dengan teman-temannya di sebuah kafe di sudut kota. Jujur hari itu aku menolak karena kepalaku yang pening, tapi Dinda meyakinkan bahwa itu hanyalah rapat kecil-kecilan menjelang peringatan Internasional Woman Day (IWD). Tanpa pikir panjang lantas kuiyakan saja untuk sekedar ingin menumpang wifi gratis di kafe yang dimaksud Dinda.


Sesampainya di kafe tersebut, sudah ada beberapa teman-teman Dinda yang menunggu. Mereka sangat hangat dan terbuka kepadaku yang terbilang baru ditengah-tengah mereka. Mereka bahkan tidak ragu untuk melibatkan aku di acara mereka memperingati IWD. Membahas IWD hari itu membuatku mengenal banyak istilah baru seperti budaya patriarki, misoginis dan kata-kata asing lainnya.


Di tengah keseruan diskusi dengan kopi susu panas itu, salah-satu teman Dinda yang belakangan ku tahu namanya Juwita, ia mengeluarkan sebungkus rokok dan sebuah korek. Melihat hal itu tentu saja aku keheranan terlebih ketika mereka membagi-bagi batangan rokok itu dengan penuh canda tawa dan kemudian tanpa ragu membakarnya dan mulai menghisap dengan penuh ketenangan tanpa peduli lagi bahwa mereka semua adalah perempuan dan mereka juga sedang berada di tempat umum.


Juwita si pemilik rokok itu melirikku dan menawariku. “Rokok Riss, aku tahu kamu sumpek sekarang ini”, tawar Juwita. “dan juga pasti dibenakmu pasti muncul stigma negatif kepada kami, perempuan kok merokok”, lanjut Juwita menyergap. Jujur aku masih kaget dengan situasi ini, pemandangan dan situasi yang baru di hidupuku.


Dengan malu-malu kau mengambil sebatang rokok yang Juwita tawarkan, saat kucabut pelan sebatang rokok itu dari bungkusannya, Juwita kembali memberikan koreknya sembari kembali berkhotbah, “Riss, jika mau merokok silahkan tidak ada yang melarangmu, jangan dengarkan orang yang bilang perempuan merokok adalah manifestasi dari perempuan yang nakal dan tidak baik-baik” jelasnya.


Juwita panjang menjelaskan, menurutnya mereka yang menganggap perempuan perokok adalah perempuan nakal dan tidak baik-baik hanya kurang membaca sejarah bahwa nenek moyang mereka dahulu-bahkan hingga keriput jari telunjuk dan jari tengahnya-masih mengapit sebatang rokok. Juwita juga berusaha mematahkan secara argumentatif pandangan yang menganggap bahwa hanya laki-laki yang boleh merokok, bahkan kadang berlebihan menganggap laki-laki yang tidak merokok berartikan kolot dan tidak keren, sedangkan perempuan yang merokok dianggap nakal, hina, jalang dan anggapan negatif lainnya.


Juwita lanjut menjelaskan, kenapa rokok harus dilabeli dengan kelompok gender tertentu padahal rokok dihisap dengan mulut yang sama, bukan dari alat kelamin, seolah-olah hanya alat kelamin laki-laki saja yang boleh melakukan itu.


Juwita yang sebelumnya tahu bahwa aku kuliah di sekolah tinggi ilmu kesehatan kembali menyinggung itu, Juwita berbicara tentang kesehatan dan rokok, menurutnya itu kembali pada diri kita sendiri. Di luar sana terpampang slogan dilarang merokok, tapi tidak ada yang pernah memasang dilarang berkendara. Padahal asap-asap kendaraan itu lebih banyak mengandung persen zat berbahaya dibandingkan dengan asap rokok yang hanya sekian persen menurutnya.


Panjang Juwita menjelaskan membuatku seolah membenarkan semua argumentasinya. Aku hanya tersenyum tipis saat ia mengakhiri khotbahnya, seraya kuhisap pelan rokok yang telah kubakar itu, sedikit batuk untuk hisapan pertama, tapi pikirku mungkin beum terbiasa saja.


Sepulang dari kafe dan setelah hari-hari berikutnya rokok telah menjadi kebutuhan tambahanku bahkan tidak ragu lagi untuk merokok di tempat umum. Maka, kepada bapak dan Ibuku mohon ampun telah merokok dibelakang kalian. Kepada Calon mertuaku di masa depan, harap terima bahwa Ibu dari cucu-cucumu  adalah seorang perokok dan untuk pasanganku di masa mendatang harap kita tetap romantis dengan sesapan kopi di beranda rumah menjelang petang saat anak-anak kita sedang bermain di belakang rumah.



Marissa, Noer.

Mahasiswi Kesehatan Majene

1 Komentar

Berkomentarlah dengan tidak mengandung unsur SARA, menyinggung kelompok gender tertentu apalagi klub sepak bola, please jangan lakukan itu.

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan tidak mengandung unsur SARA, menyinggung kelompok gender tertentu apalagi klub sepak bola, please jangan lakukan itu.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama