Normalisasi Seksisme dengan Bercanda yang Tidak Sehat


Terlepas dari telah disahkannya Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) tidak kemudian meminimalisir tindakan-tindakan kecil yang sebenarnya berefek besar, salah-satunya adalah seksisme yang kadang direduksi dengan istilah “candaan”.


Kita tentunya sadar bahwasanya hukum administratif akan begitu sulit merangsek masuk mengatur dengan tegas sosio-kultural masyrakat karena adanya hukum dan norma lain yang berlaku. Namun tanpa disadari hukum dan norma tersebut justru seolah membenarkan perilaku bias gender dan melekatkan budaya patriarki sebagai hal yang lumrah di dalam masyarakat.


Seksisme sering kita dapati di lingkungan sehari-hari, entah di tempat umum, sekolah, kampus bahkan lingkungan yang paling intim; keluarga. Namun hal demikian menjadi samar ketika dibenarkan dengan istilah “canda”, seolah yang mengalami seksisme harus menerima dan justru sebaliknya meng-iyakan.


Kata bercanda sering sekali dijadikan sebagai pembenaran dalam sebuah kejadian. “santai saja, ini hanya bercanda” kalimat egois yang paling sering didengar setelah si pelaku melancarkan kalimat-kalimat yang mungkin saja menyinggung perasaan si korban.


Kita harusnya sadar bahwa menyinggung soal tubuh atau seksualitas seseorang bukanlah hal yang pantas dijadikan sebagai bahan candaan dan faktanya saat ini itulah yang marak terjadi. Semua dianggap wajar dan biasa saja lewat kata bercanda. Korban yang merasa risih sering kali dibuat tak berdaya lewat pembenaran sepihak dari si pelaku tersebut.


Menurut Winarsunu (2008), pelecehan seksual adalah segala macam bentuk perilaku yang berkonotasi seksual yang dilakukan secara sepihak dan tidak di khendaki oleh korbannya. Bentuknya dapat berupa ucapan, tulisan, simbol, isyarat dan tindakan yang berkonotasi seksual. Jadi jelaslah menyinggung soal tubuh atau seksual seseorang masuk kedalam kategori pelecehan seksual dalam hal ini pelecehan secara verbal.


Pelaku pelecehan verbal ini bisa mendapat ancaman pidana sesuai pasal 80 yang menyatakan setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 76C, akan dipenjara paling lama tiga tahun enam bulan dan atau denda paling banyak Rp 72.000.000.


Korban dari tindakan kurang baik itu seringkali di bungkam oleh keadaan yang seakan mengharuskan mereka menerima candaan itu, seringpula orang yang menerima seksisme dalam bentuk candaan itu dianggap terlalu sensitifi, pemarah, dll. jika merespon serius pernyataan yang bernada seksisme tersebut. Selain itu, banyak juga yang secara tidak sadar menerima begitu saja perlakuan tersebut akibat dari kurangnya pengetahuan terkait tindakan-tindakan yang masuk dalam ranah pelecehan seksual. Bahkan mirisnya, tidak sedikit pula ditemui orang yang sebenarnya punya pengetahuan soal tindakan-tindakan yang masuk dalam ranah pelecehan seksual justru malah menjadi pelaku pelecehan tersebut, mungkin karena kurangnya kesadaran dan kurangnya rasa saling menghormati dan menghargai terhadap sesama manusia.


Menormalisasi seksisme dengan alasan candaan adalah hal yang seharusnya dilawan baik dalam bentuk kampanye, sosialisasi, diskusi atau literatur seperti ini. Setidaknya sedikit menjelaskan hal-hal apa yang tidak bisa lagi diwajar dilingkungan sehari-hari.


Perempuan masih saja menjadi sasaran empuk dari beberapa kasus pelecahan verbal ini, Lentera Sintas Indonesia mencatat laporan Komnas Perempuan bahwa setiap harinya ada 35 perempuan menjadi korban kekerasan seksul, dengan kata lain, dua dari tiga perempuan jadi korban kekerasan seksual.


Dalam kehidupan sehari-hari, soal-soal pelecehan secara verbal tersebut sering dibungkus oleh kata bercanda yang implikasinya mewajarkan tindakan tersebut. Hal demikian bisa berakibat serius terhadap korban, seseorang bahkan bisa kehilangan kepercayaan diri, merasa stress hingga depresi.


Bimbingan sangat diperlukan terhadap korban dan pelaku agar kedepannya bisa menjalani kehidupan yang lebih baik dengan menjunjung tinggi rasa saling menghormati daan menghargai sesama manusia. Selain itu, bisa meminimalisir perilaku-perilaku seksisme atau pelecehan seksual yang diwajarkan dengan kata bercanda.

 

Isti Nur Anggreni
Mahasiswi Unsulbar Majene

3 Komentar

Berkomentarlah dengan tidak mengandung unsur SARA, menyinggung kelompok gender tertentu apalagi klub sepak bola, please jangan lakukan itu.

  1. Sepakat! Soal-soal seperti ini seharusnya menjadi fokus bersama, khususnya di lingkungan pendidikan sebagai ruang yg seharusnya menjadi filter atas perilaku demikian, walaupun justru di ruang itu pula marak terjadi kekerasan dan pelecehan seksual.

    BalasHapus
  2. Tulisan kren, lanjutkan

    BalasHapus

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan tidak mengandung unsur SARA, menyinggung kelompok gender tertentu apalagi klub sepak bola, please jangan lakukan itu.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama