Tepat seminggu setelah kepulangan Pak Imam dari Tanah Haram, beliau mengundang warga sekitar kediamannya dating bertamu mencicipi hidangan ala kadarnya. Hal ini dimaksudkan sebagai bentuk puja-puji beliau telah diperkenankan oleh-Nya berziarah ke kota Agung nan Suci tersebut. Kabar bai kini pun tak luput dari telinga Baso dan Beddu. Mendengar undangan makan gratis, dengan sigap mereka jawab.
Setiba di rumah
Pak Imam, tanpa berbasa-basi,
keduanya lansung menuju meja makan.
Padahal ada baiknya menunjukkan kesopanan terlebih dulu,
seperti memarkir pantat
di atas kursi sejenak.
Sebagaimana yang dicontohkan tamu-tamu lainnya.
Namun nyatanya, bagi mereka waktu amatlah berharga.
Tidak ada sisa sekedar mempertontonkan basa-basi.
Bukankah kedatangan mereka untuk memanjakan perut?
Kalau jawabnya iya,
lalu buat apa menyisihkan waktu
demi hal yang tidak perlu? Begitu piker meraka.
Mahameru tak berkawah adalah gambaran tumpukan nasi di atas piring mereka. Di sekelilingnya berjejer lauk pauk. Itu yang terlihat. Belum yang memang sengaja mereka timbun. Tak ada celah. Tak ada lagi ruang kosong. Butiran nasi saling himpit menghimpit. Juga tindih menindih. Peduli setan apa kata orang. Yang utama adalah sedekah enak lagi bergizi buat cacing-cacing kelaparan di perut mereka.
"Makan mi
sepuasnya sappo, takkala
gratis dan halal," Baso bersuara.
"Kamu sudah jamin ini
halal?" serang sahabatnya
"Menurutmu
Pak Imam menyuguhkan kita makanan
yang tidak halal?"
"Saya tidak menuduh.
Tentu Pak Imam tidak setega dan sejahat itu."
"Lalu apa maksudmu?
Apa nasi yang tadinya halal bisa seketika berubah jadi
haram?"
"Jelas.
Hukum asal nasi itu memang
halal, tapi ada kalanya ia beralih hukum."
"Bagaimana dengan nasi
yang kita makan ini?
"Tergantung."
"Tergantung apanya?"
"Jika kau curi,
itu haram."
"Haha.. ada-ada saja kau ini sappo.
Sekarang kita tidak sedang mencurinya.
Jadi, sudah jelas halal
kan?"
"Tergantung."
"Tergantung apa lagi?"
"Jika itu sudah basi."
"Hahaha.. basi darimana? Siapa juga mau makan nasi
yang sudah basi?
"Banyak.
Di sekitar kita selalu ada saja
orang yang tidak punya pilihan selain mengais makanan sisa
di tempat sampah. Pasti kau juga pernah menyaksikan nya toh?"
"Ya iya sih,"
akui Baso.
"Sekalipun basi, apa memang spontan
haram?"
"Tergantung."
"Tergantung sih lagi.
Padahal baruji tadi kau bilang."
"Kalau kau peruntukkan nasi basi itu ke saya,
kamu, atau orang lainnya, sudah pasti
haram."
"Hmmm,"
jidat Baso mengurut,
alamat ia tidak membiarkan otaknya menganggur.
"Bagaimana dengan mereka
yang tidak punya pilihan selain menelan nasi basi
yang ia temukan di
tempat sampah, seperti katamu tadi?"
"Tergantung."
"Tergantung apa sih lagi?"
"Tergantung seberapa tega kau memalingkan muka dari mereka."
Pernyataan sahabatnya itu membuat kesadarannya tersentak. Jauh di hati kecilnya ia menyadari bahwa ketidak peduliannya adalah salah-satu alas an bagi mereka tidak bias memiliki sumber penghidupan selain mencari di sela tumpukan sisa yang sengaja dibuang pemiliknya. Mereka hanya kebahagian rejeki ketika orang-orang tidak lagi menaruh minat.
BACA TULISAN REKA LAINNYA DI SINI
Di sela perenungannya,
tiba-tiba matanya tertuju pada sepotong ayam bakar
yang sedikit pun belum ia sentuh.
"Kalau ini sappo,
hukumnya bagaimana?"
telunjuknya mengarah ke potongan ayam tadi.
"Tergantung."
"Tergantung juga?"
tanyanya dengan nada
kesal, mengharap kejelasan.
"Kau makan sebelum disembelih itu
haram."
"Tau
Malasa, siapa juga mau telan hidup-hidup sappo?
Lihatki baik-baik"
katanya kepada Beddu sambil menunjukkan potongan ayam itu,
"menurutmu ini masih bias berkotek?"ejeknya dengan raut penuh kekesalan.
"Nassami setelah disembelih,
halal jitoh?
"Tergantung."
"Awwe,
agasih?" Jawaban yang tidak ia harap kembali melayang.
Kejengkelan semakin nampak
di wajahnya.
"Tergantung caramu menyembelih,"
jawab Beddu tenang.
Seakan tidak peduli pada kejengkelan sahabatnya.
"Setelah disembelih secarasyariat,
bisa mi?”
"Tergantung."
Amarah Baso tersulut seketika,"Aja
jolo, emosika sedding mutaro sappo,
agannapi?" Ia merapikan posisi duduknya.
Sebisa mungkin ia coba menguasai diri.
Jawaban yang itu-itu lagi tidak ramah terdengar
di telinganya. Tidak tahu mengapa dadanya terasa sesak.
Ingin rasanya ia mengabsen nama-nama binatang
di muka sahabatnya itu.
"Caramu menghidangkan,"
kembali Beddu menunjukkan ketenangan dan ketidak peduliannya pada Baso.
Baso pun
kembali melayangkan tanya.
Namun kali ini dengan volume
yang lebih tinggi.
"Jadi kalau sesuai tuntunan
mi juga caraku menghidangkan,
tidak adami masalah toh?"
"Tergantung."
Jawaban yang
tidak diharapkannya itu lagi makin membuatnya sesak.
"Tidak lama saya lempar ko ini piring,
agannasih?"
"Kepada siapa dan untuk apa kau hidangkan?"
kata Beddu tanpa menoleh.
Tatapannya tetap khusyuk pada makanan
yang sementara ia nikmati.
"Untuk saya makanlah.
Jelasmi? Jadi bisa mi saya makan?"
"Tergantung."
"Tau acu,
aga masalahmu anu?"
umpatnya.
"Tenang,
kalau makan mu diluar kendali dan melebihi kapasitas tubuhmu,
itu baru haram."
"Apa kita mengambil porsi berlebih?"
dengan nada ragu, ia mengarahkan piringnya ke arah sahabatnya.
Hanya sekejap Beddu meluangkan waktu menoleh,
kemudian kembali memperdengarkan
kata yang sama, "Tergantung."
"Apanya lagi?"
"Bagimu bias saja iya,
tapi bagiku sudah
pas," kata Beddu
Sambil memperlihatkan tawa layaknya ejekan kepada sahabatnya.
"Elo-elomu bawang",
kesal Baso.
"Jadi segalanya memiliki ketergantungan?"
"Tergantung."
"Tidak ada kah ujungnya ini?"
selidik Baso.
"Tergantung,"
balas Beddu mengulang
kata.
"Tergantungaga?"
"Pertanyaannmu
"
"Acuuuuu,
pajana'."
Abdurrahman Wahid (Kangur)
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan tidak mengandung unsur SARA, menyinggung kelompok gender tertentu apalagi klub sepak bola, please jangan lakukan itu.