Peningkatan Utang Negara di Dua Periode Jokowi (Bag. 2)


Ambil contoh pada tahun 2018 dan 2020, kitabisa menghitung besaran debt service pada kedua tahun tersebut, yaitu berturut Rp 654 triliun (2018) dan Rp 758 triliun (2020). Nilai yang sangat besar! Terutama bila dibandingkan dengan angka penerimaan pajak pada tahun yang sama.  Pada tahun 2018 penerimaan pajak adalah sebesar Rp 1.315 triliun dan tahun 2020 sebesar Rp 1.072 triliun. Dapat dihitung, bahwa pada tahun 2018, kewajibandebt servicetelah menghabiskan 50 persen penerimaan pajak, sementara pada tahun 2020 kewajiban debt service telah menghabiskan 70 persen penerimaan pajak. Sayang kita tidak mengetahui berapa besaran debt service pada tahun 2021 dan 2022 ini.

Untunglah Bank Indonesia menerbitkan data debt service ratio (DSR) setiap tahunnya dalam Statistik Utang Luar Negeri Indonesia (SULNI). Meskipun memang data yang digunakan di sini adalah debt service yang khusus untuk pembayaran ke luar negeri, tidak mencakup ke dalam negeri.Berdasarkan data Bank Indonesia, DSR tier 1 -yang definisinya adalah “rasio antara pembayaran pokok dan bunga utang ke luar negeri dibandingkan penerimaan di transaksi berjalan”- sepanjang 2015 hingga 2021 rata-rata adalah sebesar 28 persen. Di bawah ini adalah Grafik DSR Indonesia selama pemerintahan Jokowi.

Bank Indonesia menyebutkan bahwa metode penghitungan DSR tier-1 berlandaskan pedoman dari Lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia. Maka kini kita juga menggunakan standar dari Bank Dunia dan IMF untuk menilai apakah besaran DSR Indonesia berada dalam batas aman atau tidak.

MenurutDebt Sustainability Framework (DSF)Bank Dunia-IMF, untuk negara dengan tingkat pendapatan menengah ke bawah–di mana Indonesia baru keluar dari kategori ini beberapa minggu lalu–batas atas dari DSR adalah sebesar 23 persen. Bila melihat rata-rata DSR tier-1 Indonesia selama 7 tahun terakhir yang berkisar 28 persen, maka DSR Indonesia sudah jauh melampui batas atas berdasarkan DSF tersebut. Artinya berdasarkan DSF Bank dunia-IMF tersebut, Indonesia masuk kategori sebagai beresiko tinggi (high risk).

DSF juga memberikan batas atas untuk indikator yang lain, yaitu debt service to export ratio. Angka debt service to export ratio Indonesia berada pada kisaran 36 persen pada tahun 2020. Nilai ini berada jauh di atas ambang batas versi DSF yang sebesar 21 persen. Jadi berdasarkan indikator ini, Indonesia juga masuk kategori beresiko tinggi (high risk). Di bawah ini adalah grafik yang menjelaskan data debt service to export Indonesia beberapa tahun terakhir.

Kesimpulan dari pembahasan ini adalah bahwa beban utang Indonesia selama pemerintahan Jokowi sudah sangat mencekik penerimaan Negara, dan juga berdasarkan kerangka kerja Bank Dunia dan IMF sudah masuk kategori beresiko tinggi.

Metode mengukur resiko suatu Negara menggunakan indikator DSR ini jauh lebih masuk akal disbanding menggunakan rasio total utang dibagi Produk Domestik Bruto (PDB). Debt service ratio menyatakanm kesanggupan bayar pada saat tertentu, terhadap ekspor atau transaksi berjalan, benar-benar uangnya adadan dimiliki untuk melunasi pinjaman.

Pertanyaan bagi yang masih menggunakan pembagian terhadap PDB, apakah mungkin transaksi ekonomi yang terjadi di masyarakat, yang terukur dalam angka-angka PDB, dapat dicashkan untuk membayar utang kita? Rasa-rasanya tidak bisa. Jelas kurang masuk akal.

Dan tidak tepat juga membandingkan keseluruhan utang. Karena tahun depan bukan seluruh utang tersebut yang akan kita lunasi. Tentu hanya kewajiban pokok dan bunga tahun depan lah yang benar-benar menjadi perhatian bagi para pengambil kebijakan. Bukan utang yang masih berumur 40 tahun lagi tenornya yang dipikirkan. Maka itu, sudah saatnya kita menggunakan indikator DSR ketimbang Debt to GDP.

Yang Kaya tambah Kaya, yang Miskin tambah Miskin

KAITAN BEBAN UTANG DAN KESEJAHTERAAN

Hubungan dari situasi-situasi terkait utang dan beban utang tersebut sangat erat dengan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Yang paling jelas pertama-tama adalah beban utang yang tinggi akan menyebabkan kapasitas APBN untuk menjalankan program-program kesejahteraan masyarakat menjadi terhambat.

Salah satu contohnya adalah bagaimana Pemerintah Jokowi terus memotong subsidi pupuk bagi petani. Pemerintah mengumumkan memotong Rp 7 triliun dari subsidi pupuk. Padahal kita tahu bahwa petani masih merupakan kalangan termiskin di Negeri ini. Kemiskinan di pedesaan (13 persen) hampir dua kali lipat dari tingkat kemiskinan di kota (7 persen).

Contoh lainnya adalah rencana Pemerintah mencabut subsidi listrik bagi 15,5 juta pelanggan miskin, yang katanya akan menghemat Rp 22 triliun.

Jadi dari dua contoh di atas, Pemerintah berencana berhemat sebanyak Rp 29 triliun dari mengorbankan nasib petani dan rakyat miskiSementara seperti kita ketahui pada saat yang sama anggaran untuk pembayaran bunga naik dari Rp 345 triliun ke Rp 405 triliun, atau naik Rp 60 triliun.

Kemanakan larinya pembayaran bunga dari Pemerintah tersebut? Menurut data SULNI, 72 persen atau US$ 148 miliar (Rp 2.072 triliun) dari total utang luar negeri pemerintah pusat (US$ 205 miliar atau Rp 2.870 triliun) adalah pembayaran surat utang pemerintah yang berdenonimasi Rupiah maupun valas kepadakreditor swasta. Yang dimaksud kreditor swasta ini adalah individu kaya, perusahaan asing, maupun bank-bank investasi asing. Setidaknya 33 persen dari pembayaran bunga utang pemerintah mengalir ke asing-asing ini.

Lainnya, 66 persen tentu mengalir ke dalam Negeri, ke para individu kaya di dalam negeri, perusahaan swasta dan BUMN, dan juga bank-bank dalam negeri. Mereka yang menikmati “subsidi bunga” triliunan dari pemerintah.

Kenapa disebut sebagai subsidi bunga, karena bunga surat utang Indonesia ketinggian bila dibandingkan dengan bunga surat utang negara-negara yang credit rating-nya lebih rendah, selisihnya sekitar 3-4 persen bila dibandingkan dengan Negara seperti Vietnam dan Filipina.

Jadi pada saat APBN harus mengorbankan kesejahteraan rakyat, pada saat yang sama APBN mensubsidi orang-orang kaya di dalam dan di luar negeri. Inilah realita keras yang harus dihadapi oleh rakyat Indonesia dewasa ini.

Inilah yang menjelaskan fenomena yang dibahas di awal tulisan ini. Mengapa banyak sekali utang yang dibuat oleh pemerintahan Jokowi, tapi penurunan tingkat kemiskinan sangat sedikit (hanya turun 1 juta jiwa dalam 7 tahun) dan pengangguran malah meningkat (1,9 juta dalam 7 tahun Jokowi).

Bersambung....



Berkomentarlah dengan tidak mengandung unsur SARA, menyinggung kelompok gender tertentu apalagi klub sepak bola, please jangan lakukan itu.

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan tidak mengandung unsur SARA, menyinggung kelompok gender tertentu apalagi klub sepak bola, please jangan lakukan itu.

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama