Sumber: indoprogress.com & islambergerak.com |
Islam
progresif, sebagai tendensi pergerakan dan pemikiran, muncul di antara
krisis-krisis yang sedang menimpa umat Muslim, khususnya di tempat-tempat di
mana hubungan Islam dan politik kembali dipersoalkan dan mengemuka. Mungkin
banyak yang bertanya: dari mana Islam progresif muncul? Di dalam konteks
Indonesia, pertanyaan itu hanya dapat dijawab dengan meneroka tiga krisis spesifik, yang barangkali
merupakan fenomena khas dari Islam di Indonesia pasca-Reformasi.
Pertama, krisis liberalisme Islam. Hal ini
tidak disangsikan lagi. Liberalisme Islam sedang terpuruk-terpuruknya, karena
“Islam yang lebih segar, lebih cerah, lebih memenuhi maslahat manusia”[1] yang dicari oleh liberalisme Islam ini
dan diperlawankannya dengan “Islam yang beku”, yang tak menyegarkan, gagal
berdenyut dan menemukan perwujudannya dalam kehidupan umat Islam di Indonesia,
sebaliknya makin mempersubur ekstremisme agama dan memperunyam kehidupan
beragama. Liberalisme Islam di Indonesia, melalui Jaringan Islam Liberal (JIL),
jelas mempertunjukkan keterkaitannya dengan agenda perang global pasca-tragedi World Trade Center, yang
memperhadapkan Barat versus ekstremis. Kemunculan liberalisme ini sontak
memberi “bensin” bagi kelompok-kelompok ekstremis-kanan untuk makin mengemuka.
Korelasi
antara naiknya ekstremisme agama, yang sebelumnya merupakan kekuatan minoritas,
dan merosotnya popularitas Islam liberal,dapat ditandai dari macetnya proyek
utama liberalisme sendiri: sekularisasi ruang publik. Alih-alih berhasil
menetralkan ruang publik dari agama, agama meruyak tak terkendali dan muncul
sebagai kekuatan politik yang destruktif dan menakutkan. Kita dapat menyatakan,
terorisme atas nama agama adalahanak kandung liberalisme Islam. Jabang bayi
yang keburu lahir, sebelum pluralisme, demokrasi, sekularisme, modernisasi, dan
resep-resep “impor” itu membuahkan hasilnya.
Setidaknya,
ada dua problem pada liberalisme Islam di Indonesia. Pertama, liberalisme Islam
adalah proyek elite, namun dengan dampak massif. Ia digerakkan oleh sejumlah
kecil intelektual Muslim dari menara gading yang merasa perlu mengajarkan
pencerahan kepada umat yang dianggap sedang terpuruk dalam “kegelapan intelektual”,
namun tanpa mereka sendiri terlibat dalam kerja-kerja pencerahan itu secara
langsung di akar rumput. Ini menjadikan gagasan mereka terputus dari massa dan
kondisi-kondisi riil umat. Sementara itu, dampak yang dihasilkan dari reaksi
atas proyek ini bersifat massif. Alih-alih tercerahkan, umat menjadi korban
dari pertarungan intelektual elite, yang kosakatanya jauh dari kebutuhan mereka
sehari-hari. Mereka, misalnya, merasakan dampak sektarianisme akibat kegagalan
pluralisme; merasakan bisingnya retorika agama di media akibat kegagalan
sekularisasi.
Kedua,
liberalisme Islam percaya bahwa ide semata dapat mendinamisasi kehidupan umat
Islam. Ia tidak memperhitungkan faktor-faktor lain—struktur sosial, budaya,
nilai, dan kekuatan-kekuatan sosial–ekonomi—sebagai hal yang penting dari
kebangkitan umat Islam. Kerja liberalisme ini parsial dan fragmentaris. Ia
terkesan ingin memajukan umat Islam, namun sebatas secara intelektual. Secara
kultural, sosial dan ekonomi, umat Islam di Indonesia didorong masuk ke dalam
sistem sosial, ekonomi, dan kultural yang sama sekali asing—kapitalisme
neoliberal—yang justru memperpuruk umat Islam sendiri.
Liberalisme
Islam mengalami krisis, bukan karena mereka tak lagi memiliki funding atau dukungan
finansial, tetapi karena ranah dan infrastruktur gagasannya telah goyah. Krisis
sosial, ekonomi, dan politik yang dihadapi umat Islam di Indonesia tak
memungkinkan liberalisme ini menjadi satu-satunya acuan berislam yang tepat.
Liberalisme ini menjadi bagian dari krisis itu sendiri.
Kedua, krisis gerakan aktivisme (kiri)
sekuler. Gerakan ini semestinya dapat menjadi antidot yang efektif bagi
liberalisme Islam. Berbeda dari liberalisme Islam yang merupakan proyek elitis,
gerakan ini memiliki basis massa yang kuat di berbagai sektor kehidupan umat,
walaupun tiarap selama tiga puluh tahun lebih kekuasaan diktator Orde Soeharto.
Gerakan inilah yang sejak tahun 1980-an telah menciptakan harapan baru bagi
kehidupan umat yang lebih baik, melalui kerja-kerja pengorganisiran,
penyadaran, dan pemberdayaan secara partisipatif, melalui serikat-serikat
buruh, petani, kaum miskin kota,dan lain-lain. Puncak pencapaian gerakan ini
adalah Reformasi 1998.
Gerakan
ini telah memberi corak yang hidup bagi denyut-nadi kehidupan umat, walaupun
hasil-hasilnya tidak dapat dinikmati secara menyeluruh oleh berbagai lapisan
umat. Ketika terdapat buruh atau petani yang terlibat sengketa dengan
perusahaan dalam kasus agraria, para aktivis dari latar belakang sekuler inilah
yang mendampingi dan melakukan kerja-kerja perlawanan. Mereka membumikan
gagasan demokrasi dalam wujudnya yang konkret, sebelum kaum Muslim liberal
berpretensi mengajarkan mereka tentang demokrasi. Namun dalam
prosesnya,kerja-kerja tersebut tidak selamanya mendapat apresiasi memadai dari
umat, bahkan sebaliknya mendapat stigmatisasi, dengan tuduhan-tuduhan
“komunis”, “radikal”, atau “subversif”.
Sebagai
konsekuensinya, muncul kesenjangan antara gerakan ini dan basis kultural umat.
Kerja-kerja gerakan ini terkonsentrasi pada dimensi sosial-politis yang mengangkat
kualitas partisipasi sosial umat terhadap pertarungan politik sehari-hari
melawan penindasan, namun tanpa melibatkan keyakinan-keyakinan religius dan
kultural yang merupakan “nilai-nilai konstitutif” dari dinamika yang
menggerakkan kehidupan umat sehari-hari. Hal ini mendorong kepada suatu
kesenjangan antara aspirasi sosial-politis dan aspirasi religius, antara
kondisi-kondisi kehidupan yang objektif (yang menjadi medan pertarungan untuk
kehidupan materiil yang lebih baik) dan nilai-nilai subjektif (yang menjadi
acuan sikap dan kehidupan yang dianut dan menjadi praktik sehari-hari).
Gerakan
aktivisme (kiri) sekular memiliki acuan pada sistem pemikiran yang relatif
eksternal, walaupun bukan sama sekali asing,bagi umat Islam, seperti
sosialisme, marxisme, feminisme, anarkisme, ecosoc
rights, dan lain-lain. Acuan tersebut dianut sejauh merupakan
strategi perjuangan atau praktik politik, namun tidak sampai diadopsi menjadi
acuan nilai dalam kehidupan individual atau komunitas, yang merupakan wilayah
dari agama atau keyakinan-keyakinan yang spesifik. Ketidakmampuan gerakan
(kiri) sekular untuk menyambungkan kedua acuan ini menyebabkan orientasi nilai
subjektif umat tetap dikooptasi oleh sistem nilai yang konservatif, misalnya
dalam wujud pemahaman dan praktik keagamaan yang tidak mempedulikan
persoalan-persoalan sosial. Keterbelahan antara kedua acuan ini menjadikan
agama tidak bermakna bagi aktivisme sosial, dan di sisi lain, perjuangan sosial
menjadi ranah profan yang tidak memiliki bobot dan nilai mendalam kecuali di
saat-saat tertentu yang genting dan cenderung sporadis.
Ketiga, krisis Islam “pasar” dan moderatisme
Islam. Banyak studi menunjukkan bahwa inilah model Islam yang sedang tumbuh dan
menggeliat kencang di Indonesia. Ini adalah Islam-nya kelas menengah yang
terdiri dari para wirausahawan Muslim yang tumbuh dengan “etika bisnis Islam”,
dan beraspirasi untuk memapankan diri menjadi kelompok dominan baru di tengah
masyarakat. Mereka tidak memiliki agenda perubahan sosial, apolitis, dan
cenderung mencari jaminan di tengah situasi yang ada dengan tidak mempedulikan
kontradiksi sosial yang ada, bersikap apatis dan mendekat kepada
kelompok-kelompok status quo
lama, seperti militer atau taipan (pengusaha besar).
Kita
bisa menelusuri kemunculan kalangan Muslim ini sejak sekitar 2005, ketika
kalangan wirausahawan Muslim menemukan formula yang mampu memadukan secara
praktis antara nilai-nilai ideologis paling mendasar dari kapitalisme (contoh:
maksimalisasi profit) dan nilai-nilai Islam dalam bentuk kesalehan dan
pengamalan keagamaan. Penemuan metode ESQ (Emotional Spiritual Quotient) pada
2005 oleh Ary Ginandjar merupakan suatu momen penentu dari bersatunya dua
sistem nilai yang berbeda ini, dalam kemasan yang baru, populer, dan menarik.
Islam “pasar” ini memotivasi orang untuk berlomba-lomba menjadi pemain dalam
sistem pasar, menjadi bidak-bidak penyokong kapitalisme, tanpa memberi alasan
mengapa sistem ini dianggap paling baik atau masuk akal. Pada level budaya, hal
ini diperkuat dengan “Islam popular” yang lahir dari sintesis genetik antara
“Islam pasar” dan pop
culture yang memadukan konsumerisme dengan identitas-identitas yang
dikemas “Islami” dan “religius”.
Apa
pertautan antara Islam “pasar” ini dengan liberalisme Islam? Secara ideologis,
Islam “pasar” merupakan turunan aplikatif dari liberalisme Islam, hanya saja
minus agenda politis. Krisis liberalisme Islam secara ideologis, secara
dialektis, ternyata memberi ruang bagi tumbuhnya Islam “pasar” yang lahir dari
kegagalan awal liberalisme tersebut. Islam “pasar” memperdalam pengaruh
liberalisme, hanya bukan lagi dalam bentuk pemikiran, melainkan sebagai praktik
sehari-hari. Islam “pasar” dapat kita sebut sebagai pencarian bentuk ketiga
yang lebih soft
di antara liberalisme Islam dan fundamentalisme Islam. Dari liberalisme Islam,
ia mengambil acuan kapitalistiknya. Dari fundamentalisme Islam, ia mengambil
“baju” identitas keagamaannya.
Moderatisme
Islam, di sisi lain, merupakan suatu tendensi yang juga bereaksi atas
liberalisme maupun fundamentalisme Islam. Namun, reaksi itu juga memperlihatkan
suatu kamuflase yang kompleks dari adopsinya terhadap liberalisme Islam maupun
penolakannya atas beberapa “ekses” dari liberalisme ini. Secara mendasar,
moderatisme Islam menolak liberalisme Islam sebagai acuan pemikiran keagamaan,
namun menerima liberalisme ini dalam praktik ekonomi. Moderatisme ini, dengan
demikian, setuju untuk mengikuti sistem pasar dan mengadopsi dengan cepat model
keberagamaan Islam “pasar”, tanpa melakukan upaya negasi untuk menciptakan
sistem ekonomi alternatif di luar sistem pasar. Seperti halnya Islam “pasar”,
dari liberalisme Islam, ia mengambil acuan kapitalistiknya, namun memoderasinya
sedemikiran rupa agar tak terlihat berorientasi liberal (walaupun tetap
kapitalistik, dengan jargon-jargon “kemandirian ekonomi”, “ekonomi warga”, dan
lain-lain). Dari fundamentalisme Islam, ia menolak doktrin ideologisnya, namun
menerima Islam sebagai artikulasi identitasnya.
Moderatisme
Islam secara umum saat ini digerakkan oleh dua ormas Islam, Nahdlatul Ulama
(NU) dan Muhammadiyah. Misi moderatisme ini adalah memfasilitasi dinamika umat
Islam dengan menjaga keseimbangan-keseimbangan di antara negara, pasar, dan
masyarakat, sehingga tidak terjadi benturan berarti yang mengakibatkan
timbulnya anomi sosial dan khaos. Setelah krisis liberalisme Islam dan
fundamentalisme Islam, moderatisme Islamberusaha merebut hegemoni dengan
bertendensi menjadi “payung besar” bagi berbagai faksi ideologis umat
Islam,sepanjang dan selama faksi-faksi tersebut tidak dipandang menimbulkan
kekacauan atau mengganggu berjalannya keseimbangan tersebut.
Pertanyaannya,
bagaimana Islam “pasar” dan moderatisme Islam dianggap mengalami krisis?
Bukankah keduanya saat ini hegemonik dan menunjukkan tanda-tanda kemajuan yang
mencengangkan? Bukankah retorika agama masih menarik bagi kelas menengah urban
yang membutuhkan kesalehan sebagai penenang dari kontradiksi kehidupan
sehari-hari? Bukankah juga para perwakilan “Islam Nusantara” dan “Islam
Berkemajuan”—NU dan Muhammadiyah—sedang beranjak mendapatkan panggung yang luas
dan oleh negara maupun badan-badan dunia diklaim sebagai representasi dari
Islam di Indonesia yang ramah dan toleran?
Krisis
Islam “pasar” dan moderatisme Islam tidak bersumber dari penampakannya yang
memperlihatkan tendensi “keberhasilan”, melainkan dari kontradiksiyang diredam
keduanya berupa hubungan-hubungan yang semakin antagonistik antara negara,
pasar, dan masyarakat, yang alih-alih menciptakan keseimbangan,menciptakan
pola-pola penjinakan, penaklukan, dan penciptaan kedamaian yang semu. Daripada
berhasil menciptakan keseimbangan, moderatisme Islam di Indonesia semakin
bergerak pada penguatan koalisi ganda antara negara dan pasar dalam mendikte
umat, melalui program-program yang tetap mengamankan piramida sosial di antara elite,
kelas menengah, dan massa rakyat, dan program-program “suntikan” dari
badan-badan neoliberal dunia yang berjalan atas nama kesejahteraan, kesehatan,
pendidikan, dan anti-radikalisme. Program-program ini berjalan melalui
pendisiplinan umat oleh aparatus negara (misalnya, militer, dalam kampanye
anti-radikalisme), dan melalui skema-skema filantropis, pasar mendikte umat
dengan menciptakan ketergantungan pada perbankan dan korporasi, melalui
program-program yang semakin memfasilitasi masuknya corporate body ke dalam social body, “tubuh
korporat” ke dalam “tubuh sosial”, sehingga seluruh pori-pori kehidupan
masyarakat dapat dianeksasi oleh sentuhan corporate
culture yang eksploitatif (misalnya, melalui kredit perbankan).
Krisis
Islam “pasar” dan moderatisme Islam ini persisnya terletak di dalam
ketidakmampuan keduanya mendorong kemandirian masyarakat untuk membangun
kehidupannya dengan cara-cara mereka sendiri. Kita melihat kejanggalan lain
dari wajah moderatisme Islam ini pada hal berikut: sementara moderatisme Islam
mendukung keragaman budaya melalui jargon toleransi, dalam sistem ekonominya
terjadi penyeragaman yang cukup massif, dengan induksi lahan-lahan ekonomi umat
yang heterogen ke dalam satu sistem integral perbankan. (Baru-baru ini, NU
memfasilitasi pendaftaran anggotanya melalui fasilitas Bank Mandiri.)Dengan
kata lain, di dalam budaya keagamaan dibangun toleransi, namun di dalam praktik
ekonomi, tak ada toleransi di luar pasar—sistem pasar adalah satu-satunya
sistem yang dianggap benar.
Dari
sekian krisis di atas, peluang besar terbentang di hadapan kita, yaitu
kemunculan suatu tendensi lain di luar tendensi-tendensi di atas. Tentu,
tendensi ini berkembang dari “rahim” krisis yang dimunculkan oleh berbagai
tendensidi atas, dan tidak lepas dari konteks yang disediakan oleh panorama
Islam di Indonesia pasca-Reformasi. Namun, tendensi ini dapat mengambil bentuk
yang sama sekali baru, bila kelahirannya disiapkan baik-baik sejak sekarang.
Kita menyebutnya, “Islam Progresif”.
Dalam
“Apa Itu Islam Progresif?”, penulis memahami Islam Progresif sebagai negasi
atas liberalisme Islam dan mencoba mendefinisikannya sebagai Islam berorientasi
pembebasan yang sumbernya digali dari persilangan antara ajaran Islam, kearifan
lokal, dan kritik sosial. Kali ini, kita akan lebih spesifik.
Islam
Progresif adalah suatu gugus bagi gerakan-gerakan Islam. Suatu gugus gerakan
yang berinspirasikan ajaran Islam pembebasan, yang menerjemahkan ajaran
tersebut ke dalam suatu praksis tertentu yang berbeda dari praktik liberalisme
Islam, fundamentalisme Islam, dan moderatisme Islam. Untuk melihat praktik ini
lebih jernih, lihat ke mana orientasinya. Orientasi isme-isme ini berkisar
antara tiga hal: negara, pasar, masyarakat. Liberalisme Islam berorientasi pada
pasar, mensubordinasikan negara dan masyarakat di bawah pasar. Fundamentalisme
Islam berorientasi pada negara (melalui doktrin khilafah), mensubordinasikan pasar dan
masyarakat di bawah negara. Moderatisme Islam berorientasi pada keseimbangan di
antara ketiganya, namun pada gilirannya terjatuh pada subordinasi masyarakat
terhadap negara (melalui doktrin ketaatan umat atas pemerintah, ulil amr) dan pasar.
Islam
Progresif harus menempuh pola yang berbeda, yaitu berorientasi pada masyarakat,
mensubordinasikan negara dan pasar terhadap masyarakat, melalui kerja-kerja
yang pada gilirannya membuat negara (sebagai institusi dan aparatus) tidak lagi
dibutuhkan (irrelevan) dan masyarakat dapat mengelola urusannya dengan
kemandirian yang berangkat dari hubungan-hubungan persaudaraan dan egaliter,
dalam segala aspeknya. Termasuk di dalam kerja ini adalah penisbian prinsip
pasar melalui prinsip bagi-untung dan bagi-rugi (musyarakah), dalam sistem koperasi umat Islam
yang otonom dari ketergantungannya pada industri perbankan. Dalam pola ini,
karena negara dan pasar masih eksis sebagai kekuatan yang mensubordinasi umat,
maka saat ini Islam Progresif sedang berada dalam jalur perjuangan
“menjinakkan” negara dan pasar, melalui kerja-kerja pengorganisiran dan edukasi
politik bersama umat tentang watak Islam Indonesia dan keterjeratannya di dalam
ekonomi kapitalis global dan nasional. Dalam arti itu, Islam Progresif dapat
berubah-ubah bentuk: menjadi gerakan keagamaan, gerakan kultural, gerakan
ekonomi, atau gerakan politik.
Dalam aliansinya
secara luas dengan gerakan demokrasi dan aktivisme (kiri) sekular, Islam
Progresif hadir secara inklusif sebagai common
platform bagi aktivisme masa depan yang tidak memisahkan agama dari
aktivisme, akhirat dari urusan duniawi, hati nurani dari kesadaran politik.
Oleh : Ulil Abshar-Abdallah
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan tidak mengandung unsur SARA, menyinggung kelompok gender tertentu apalagi klub sepak bola, please jangan lakukan itu.