Bayang-bayang Stigma di Balik Meja Warkop dan Perempuan yang Ngopi di Atasnya


Kita telah hidup di era milenium di mana cultural exchange atau pertukaran budaya merambah sampai ke kolong meja kopi, hal demikian tentu (salah-satunya) diprakarsai oleh generasi milenium atau yang sering di istilahkan Gen Z. Selain itu, instrumen peradaban dewasa ini atau era digital menjadi salah-satu faktor pengaruh yang paling legitimate.


Sejauh ini, masyarakat urban menjadi aktor utama dalam fenomena itu, pengelompokan dengan berbagaimacam istilah pun lahir sebagai implikasinya, ada yang berdasarkan tren musik, fashion, film dll. Namun sejauh apa pun budaya mengalami pertukaran atau bahkan perubahan, ada satu budaya yang (bisa jadi) tidak akan hilang dari panggung peradaban manusia, ialah budaya nongkrong yang bahkan tidak hanya dilakoni oleh mereka yang berada di perkotaan, melainkan orang-orang di pedesaan dan perkampungan pun turut melanggengkan kebiasaan itu.


Nongkrong sendiri telah menjelma sebagai common culture yang seiring berjalannya waktu terus terperbaharui, entah dalam hal tempat atau isian agenda nongkrongnya. Budaya nongkrong juga dianggap sebagai sesuatu yang bahkan bisa menyembuhkan jiwa. Jika meminjam istilah Gen Z, nongkrong menjadi salah-satu healing untuk jiwa yang kesehariannya dihantam rutinitas monoton yang bisa merusak kesehatan mental.


Namun, tidak sedikit pula orang beranggapan bahwa nongkrong hanyalah kegiatan yang tidak penting dan buang-buang waktu. Tentu anggapan itu tidak bisa dibenarkan tetapi juga tidak bisa disalahkan seluruhnya. Menurut Adhitiya Pratama dalam esainya Mendobrak Stigma Negatif Budaya Nongkrong dan Ngopi di Kalangan Anak Muda” mengatakan bahwa justru dengan nongkrong, anak-anak muda seharusnya bisa mendobrak stigma itu dengan menjadikan nongkrong sebagai ruang diskusi dan sarana melahirkan ide dan gagasan yang efektif dan kekinian.


Budaya nongkrong juga menjadi sarana bagi Gen Z atau anak-anak muda saat ini untuk mengekspresikan diri agar tetap bisa eksis khususnya di sosial media. Maka tidak jarang jamaah ibadah nongkrong tidak hanya melihat sajian nongkrongnya, semisal kopi, tetapi juga tempat yang pastinya harus instagramable karena harus diakui bahwa sebagian dari anak-anak muda yang nongkrong tidak hanya untuk menjadikannya sebagai sarana mengobati diri dari kepenatan tetapi juga untuk mengabadikan momen agar bisa dipamerkan atau sekedar di arsipkan di sosial media sebagai kenangan.


TEMUKAN ESAI LAINNYA DI SINI


Namun di saat modernistik kian menggempur, di lain sisi masih ada juga anggapan kolot yang melabeli budaya nongkrong dengan kelompok gender tertentu, dengan menganggap nongkrong hanya lumrah dilakukan oleh laki-laki. Bukan hal yang tidak beralasan, budaya nongkrong yang biasanya dilakukan di malam hari menjadikan perempuan terpenjara oleh streotype bahwa perempuan yang sering keluar malam adalah perempuan yang “tidak beres”.


Stigma dan pelabelan itu tentu masih banyak kita temui di masyarakat yang bahkan sudah rutin bermain tiktok ini, gerak-gerik perempuan terbatas oleh waktu dan anggapan-anggapan kolot yang menyebabkan lahirnya aturan atau norma-norma masyarakat yang diskriminatif tentunya.


Nongkrong sama halnya dengan rokok yang selalu dilabeli dengan kelompok gender tertentu. Hal demikian mungkin sudah jarang atau bahkan sulit kita temui di kota-kota metropolis yang liberalistik, namun bagaimana di daerah yang berusaha manut dengan perkembangan kota besar, stigma dan pelabelan itu masih belum bisa dihilangkan.


Dalam konteks apa pun, mungkin perempuan selalu menjadi kelompok yang dirugikan atas hal tersebut. Kita mungkin bisa mengilustrasikan alasan dibalik banyaknya aturan atau norma yang merugikan tersebut, termasuk ketakutan dari orang tua atau kerabatnya ketika si perempuan terlalu sering berada di luar rumah terlebih di malam hari.


Orang yang tidak sepakat dengan ketakutan itu tentunya tidak bisa menunjukkannya secara berlebihan, karena harus kita akui, perempuan menjadi kelompok paling rentan mengalami kekerasan dan pelecehan seksual yang masih marak terjadi dan hal itu bisa terjadi di mana saja, entah di kafe, warkop pinggir jalan dan public space lainnya. Walau demikian, hal tersebut tidak bisa juga dijadikan pembenaran untuk menguatkan argumen dukungan terhadap stigma, pelabelan dan aturan-aturan kolot yang bias gender.


Terlepas dari semua itu, nongkrong akan tetap abadi sebagai ode yang mengalun pelan di panggung peradaban, entah di tengah-tengah business district di perkotaan atau di pinggir-piggir jalan di perkampungan. Nongkrong akan tetap menjadi ibadah rutin manusia, entah di kafe estetik yang bergengsi atau warug kopi yang merakyat, entah dengan sajian latte atau cappuccino atau hanya dengan segelas kopi hitam kapal api.


Selamat bermalam minggu, selamat merayakan ibadah nongkrong.

 

A. I. Said
(Seorang bapak yang baru menulis kembali dengan anak perempuannya)

Berkomentarlah dengan tidak mengandung unsur SARA, menyinggung kelompok gender tertentu apalagi klub sepak bola, please jangan lakukan itu.

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan tidak mengandung unsur SARA, menyinggung kelompok gender tertentu apalagi klub sepak bola, please jangan lakukan itu.

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama